Selasa, 06 Mei 2014

Review Jurnal HAKI : Hak Cipta dan Penyebaran Pengetahuan



HAK CIPTA DAN PENYEBARAN PENGETAHUAN
Diao Ai Lien
Dosen Fakultas Hukum Unika Atma Jaya Jakarta

Posting 1
I.     ABSTRAKSI
Hak cipta memainkan peranan penting dalam komunikasi ilmiah. Hal ini adalah karena karakteristik dari hak cipta tersebut. Hak cipta bekerja di setiap tahap siklus pengetahuan. Hak cipta, langsung maupun tidak langsung, mempengaruhi penciptaan pengetahuan, perekaman dan pengorganisasian, publikasi, akses, penggunaan, dan penciptaan kembali pengetahuan. Hak cipta juga terlalu memberikan penghargaan pada penulis ilmiah, yang kadar keorisinilan karyanya, umumnya hanya sekian persen (bukankah suatu karya ilmiah dibangun di atas penemuan terdahulu dan karenanya mengandung karya orang lain juga). Di samping itu, hak cipta juga memberikan dampak ’pedang bermata dua’ pada penulis dan pengguna karya ilmiah yang orangnya seringkali sama. Artikel ini menguraikan dampak negatif hak cipta pada komunikasi ilmiah, dan mengusulkan empat skenario untuk pengelolaan hak cipta yang lebih efektif.
Kata kunci: hak cipta, komunikasi ilmiah


I.     PENDAHULUAN

Setiap orang yang menciptakan karya tulis (karya ilmiah, program komputer, kesusasteraan, dsb.) dan karya artistik (drama, musik, film, dsb.) secara otomatis mendapatkan hak cipta. Hak cipta pertama kali mendapat perlindungan di tingkat internasional pada tanggal 9 September 1886 melalui Berne Convention for The Protection of Literary and Artistic Works.
Hak cipta terdiri dari hak ekonomi dan hak moral. Secara umum (terlepas dari isi perundang-undangan suatu negara), hak ekonomi adalah hak eksklusif pencipta untuk memperoleh manfaat ekonomi dari karya ciptanya dan produk-produk terkait. Hak ekonomi meliputi hak untuk memperbanyak, mendistribusi, menterjemahkan, membuat adaptasi, membuat pertunjukan, dan memperagakan (display) suatu karya cipta. Hak moral terdiri dari paternity right (hak untuk diidentifikasi sebagai pengarang atau direktur suatu karya), integrity right (hak untuk menolak perubahan atas suatu karya), dan privacy right (hak pemanfaatan foto dan film). Hak ekonomi dapat dipindahtangankan ke pihak lain yang dapat juga memindahkannya ke pihak yang lain lagi. Hak ekonomi ada masa berlakunya, yaitu sampai sekian tahun (misalnya 50 tahun) sesudah penciptanya meninggal dunia. Hak moral tidak dapat dipisahkan dari pengarangnya dan ahli warisnya, dan hal ini berlaku selamanya.
Pada mulanya hak cipta, terutama hak ekonominya, diadakan untuk mendorong terjadinya penciptaan. Keuntungan ekonomi yang diperoleh diharapkan dapat membantu pencipta untuk terus berkarya. Namun dalam perjalanannya, hak cipta, terutama atas karya ilmiah, ternyata menimbulkan dampak yang negatif terhadap penyebaran dan perkembangan pengetahuan. Padahal dalam era ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge-based   economy),   kemampuan   untuk   menciptakan   dan   menyebarkan pengetahuan ilmiah merupakan faktor penentu fundamental kemakmuran suatu bangsa. Penciptaan pengetahuan itu sendiri juga sangat dipengaruhi oleh penyebaran pengetahuan (seberapa cepat pengetahuan baru tersebar dan seberapa mudah diaksesnya).
Tulisan ini membahas dampak negatif dari hak cipta (terutama hak ekonominya) terhadap penyebaran pengetahuan, dan cara mengatasinya. Karena penyebaran dan pengembangan pengetahuan terjadi dan dilakukan bersama-sama oleh semua ilmuwan yang pernah, sedang, dan akan hidup di dunia, maka pembahasan dilakukan secara umum, dan tidak dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan suatu negara. Pembahasan juga akan dilakukan dalam konteks penyebaran pengetahuan ilmiah yang juga melibatkan kemajuan teknologi komunikasi dan informasi.
 
II.            PEMBAHASAN
A.            HAMBATAN YANG DITIMBULKAN HAK CIPTA TERHADAP PENYEBARAN PENGETAHUAN


Ada dua faktor yang membuat hak cipta karya ilmiah mengandung potential problems bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Pertama adalah karakter (nature) dari hak cipta itu sendiri. Hak cipta memberikan pemegangnya hak untuk mempengaruhi keseluruhan siklus pengetahuan, secara positif maupun negatif, langsung maupun tidak langsung. Siklus pengetahuan dimulai dari penciptaan pengetahuan (melalui berpikir analitis, kritis, konstruktif), perekaman (menulis), publikasi (mengumumkan, menyebarkan), akses (pencarian dan penelusuran informasi), penggunaan (memilih, membaca, mencatat), sampai ke penciptaan kembali.
Dalam pelaksanaannya, setiap tahap tersebut, langsung maupun tidak langsung, bersinggungan dengan hak cipta (hak ekonomi maupun moral). Misalnya, penciptaan bisa terjadi kalau si pencipta mempunyai kemudahan akses ke sumber yang lengkap. Pada waktu menulis (menyadur, menterjemahkan, memodifikasi, dsb.), penulis harus memperhatikan hak cipta (hak ekonomi dan hak moral) penulis dokumen yang digunakannya. Pada waktu publikasi karyanya, penulis harus memperhatikan sejauh mana dia akan melepaskan hak ekonominya dan apa konsekuensinya. Pada waktu publikasi karya orang lain, seseorang harus memperhatikan sejauh mana dia boleh memfotokopi, menyediakan ’link’ ke karya tersebut.
Demikian seterusnya. Karena itu,
pemberlakuan hak cipta yang berlebihan bisa menghambat perkembangan ilmu pengetahuan. Faktor kedua yang bisa meningkatkan potensi masalah yang ditimbulkan oleh hak cipta adalah, karena penulis dan pengguna karya ilmiah seringkali adalah individu yang sama. Akibatnya, pelaksanaan hak cipta memberi dampak ‘pedang bermata dua’ pada mereka, bukan hanya dalam kasus pemanfaatan karya orang lain, tetapi juga karya sendiri; baik pada waktu hak itu dipegang sendiri dan terlebih lagi bila diserahkan ke penerbit komersial. Penyebaran pengetahuan ilmiah mulai dari pencipta sampai ke pengguna melibatkan banyak pihak, yaitu pencipta (penulis), penerbit (termasuk secondary publisher), penyalur (toko buku, perpustakaan, dsb. )
 

PENULIS MENYERAHKAN HAK CIPTA KE PENERBIT
 Di Indonesia, penulis artikel jurnal biasanya menyerahkan hak ciptanya kepada penerbit, secara gratis atau hampir gratis (penulis hanya mendapat honor sekadarnya). Di negara maju, terutama untuk jurnal ilmiah bereputasi internasional, penulis bahkan harus membayar tidak sedikit (dalam rupiah) untuk setiap artikel yang dimuat di jurnal tersebut, meskipun hak ciptanya diserahkan ke penerbit. Dalam hal buku, biasanya penulis mendapat royalti dari penyerahan hak ciptanya.
Ada beberapa kepentingan yang melatarbelakangi praktek tersebut di atas, sehingga penyerahan hak cipta ke penerbit bisa berlangsung sampai sekarang meskipun si penulis tidak mendapatkan keuntungan materi.
Kepentingan penulis. Salah satu hal yang menyebabkan penulis dengan mudah menyerahkan hak ciptanya kepada penerbit adalah karena mereka (dosen, peneliti, mahasiswa, dsb.) umumnya lebih mementingkan penyebaran karyanya seluas-luasnya, daripada manfaat ekonominya. Di samping itu, ada keharusan untuk menerbitkan buku dengan ISBN atau di jurnal yang mempunyai reputasi (scholarly journal, terutama yang peer-reviewed) agar persyaratan kenaikan pangkat (sebagai peneliti atau dosen) yang diberlakukan oleh organisasi induknya dapat dipenuhi. Penerbitan ini juga untuk meningkatkan reputasi mereka.
Kepentingan penerbit. Penerbit mempunyai kepentingan untuk menyebarkan suatu karya sambil mendapatkan keuntungan materi dari kegiatan tersebut. Untuk itu, penerbit berusaha untuk meningkatkan kualitas isi dan tampilan suatu tulisan, dan mendistribusikannya dalam jumlah besar dan cakupan geografis yang luas. Penerbit meningkatkan kualitas suatu karya dengan cara menyediakan peer reviewer, editor, perancang layout dan sampul depan, dsb. Dengan demikian, mereka mempunyai modal (power) untuk menolak atau menerima suatu karya untuk diterbitkan. Pertimbangan penerbit bisa dari segi komersial dan/atau mutu. Penerbit bahkan bisa meminta penulis yang sudah dikenal untuk menulis topik yang menurut mereka mempunyai nilai jual yang tinggi.
Kepentingan pengguna. Penyerahan hak cipta ke penerbit memudahkan pengguna pada saat ingin memperbanyak, mendistribusi, menterjemahkan, membuat adaptasi, membuat pertunjukan, atau memperagakan (display) suatu karya cipta. Mereka tidak harus susah-payah menghubungi penulisnya yang biasanya alamatnya lebih sulit diperoleh dibandingkan dengan alamat penerbit.

Melihat uraian di atas, nampaknya tidak ada permasalahan yang ditimbulkan oleh penyerahan hak cipta kepada penerbit. Apakah demikian? Ternyata tidak demikian kenyataannya, terutama kalau hal ini dilihat dari akumulasi pengetahuan yang sudah berlangsung begitu lama, dan melibatkan penulis yang pernah, sedang dan akan hidup di muka bumi ini. Penyerahan hak cipta oleh penulis kepada penerbit sudah berlangsung berabad-abad, yaitu seusia penerbit tertua di dunia. Elsevier Science misalnya sudah berada dalam bisnis penerbitan lebih dari satu abad, dan jurnal-jurnal pertama diterbitkan tahun 1665 oleh Academie Francaise di Paris dan Royal Society of London for the Promotion of Natural Knowledge. Untuk semua karya tersebut, bukan lagi penulisnya, tetapi penerbit yang mempunyai hak eksklusif untuk memperbanyak, mengalih-mediakan, mendistribusikan, menterjemahkan, membuat adaptasi, membuat pertunjukan, dan memperagakan (display). Penerbit bahkan berhak juga untuk memindah-tangankan hak tersebut ke penerbit lain (secondary publisher).
Itulah sebabnya penerbit bisa mencantumkan pernyataan berikut ini dalam terbitannya:
  ”All rights reserved. No part of this publication may be reproduced, stored in a retrieval system, or transmitted in any form or by any means electronic, mechanical, photocopying, recording or otherwise without the prior permission of the publisher.”
Kutipan ini diambil dari publikasi Ashgate Publishing Limited (Inggris) tahun 2003.
Akibatnya, penulis suatu karya harus meminta ijin bahkan membayar pada penerbit untuk menggunakan dan menyebarluaskan karyanya sendiri. Hal ini nampak dari kutipan berikut ini:
“A professor of English recently expressed dismay at having to ‘unpublish’ two of his articles so that he could make them available to his students in a packet of readings without having to pay royalties to his publisher.” (Bennett et al., seperti dikutip oleh Nentwich, 2001, h. 3)


Untungnya Indonesia, seperti juga Amerika Serikat dan beberapa negara lainnya, menerapkan doktrin atau asas fair use. Asas ini memungkinkan pemanfaatan suatu karya tanpa seijin pemilik hak cipta sepanjang untuk kegiatan pendidikan dan penelitian, dan bukan untuk tujuan komersial. Apakah dengan berlakunya asas fair use maka penyerahan hak cipta kepada penerbit tidak menghambat penyebaran dan pemanfaatan suatu karya?

Ternyata, walaupun demikian, hak cipta masih tetap menimbulkan masalah.
Para penulis karya ilmiah yang pernah dan sedang hidup saat ini sudah menghasilkan jutaan karya ilmiah yang telah diserahkan hak ciptanya kepada penerbit. Mereka ini umumnya bekerja di lembaga-lembaga pendidikan dan penelitian di seluruh dunia. Untuk memenuhi kebutuhan informasi mereka, maka lembaga-lembaga penelitian dan pendidikan, secara konsortium dan kebanyakan sendiri-sendiri, harus mendapatkan kembali karya-karya tersebut dengan membayar mahal. Karya-karya tersebut umumnya dibeli atau dilanggan melalui perpustakaan yang anggarannya terbatas menurut ukuran negara maju apalagi negara sedang berkembang. Biaya yang mahal terutama sekali dirasakan dalam hal berlangganan database dokumen elektronik. Di samping biaya lisensi yang tidak murah yang harus dibayar setiap tahun, kendala yang harus dihadapi perpustakaan adalah tertutupnya akses ke database tersebut pada saat langganan dihentikan. Ini berarti, meskipun pernah mengeluarkan milyaran uang untuk database tersebut, perpustakaan tidak memiliki copy apapun dari jurnal-jurnal dalam database tersebut.
Hal ini berbeda dengan pembelian atau langganan dokumen tercetak. Penyerahan hak cipta kepada penerbit juga mempersulit si penulis sendiri untuk mengalih-mediakan (ke dalam dokumen elektronik, cd-rom, dsb.) dan menyebar-luaskan karyanya (misalnya: memfotokopi, menyediakan links). Tanpa seijin penerbit, penulis tidak bisa mempublikasikan karyanya bahkan di situs (pribadi atau lembaga) sendiri. Penulis juga tidak bisa mempublikasikan karya tersebut di jurnal lain yang mempunyai segmen pembaca yang berbeda. Hal ini tentu saja menghambat penyebaran informasi. Padahal, menurut penelitian, akses yang dibuka seluas-luasnya dan semudah-mudahnya ke suatu dokumen sangat meningkatkan pemanfaatan dokumen tersebut. 



DAFTAR PUSTAKA
Anwar,  C.  (1999).   Hak cipta: pelanggaran hak cipta dan perundang-undangan
terbaru hak cipta indonesia. Jakarta: Novindo Pustaka Mandiri.
Birdsall, W.F. (2005). Towards an integrated knowledge ecosystem: a canadian research strategy. A report submitted to the Canadian Association of Research Libraries / L'Association des bibliothèques de recherche du Canada (CARL/ABRC). Ditelusuri pada tanggal 11 April 2006 dari http://www.carl-
abrc.ca/projects/kdstudy/public_html/results.html 
Durham, A.L. (2004). Brigham Young University Law Review, vol. 2004, iss.1, 69 hlm.
Houghton, J.W., Steele, C., dan Henty, M. (2003).   Changing research practices in the
digital information and communication environment.  Ditelusuri dari
http://www.dest.gov.au/sectors/research_sector/publications_resources/other_publication
s/changing_research_practices.html  pada tanggal 1 April 2006.
  Nentwich, M. (2001).  (Re-) de-commodification in academic knowledge
distribution? Paper for the 5 th ESA Conference, SSTNET session 4 on
“Commodification of Knowledge”, 28/8-1/9 2001, Helsinki University.   
Sahu, D.K., Gogtay, N.J., and Bavdekar, S.B. (2005).  Effect of open access on citation
rates for a small biomedical journal.   Paper presented in the Fifth International
Congress on Peer Review and Biomedical Publication, 16-18 September 2005, Chicago,
USA.  Ditelusuri dari http://openmed.nic.in/1174/ pada tanggal 1 April 2006.
  Wikipedia. Ditelusuri dari http://en.wikipedia.org/wiki/Copyleft pada tangal 21 Desember 2004.
Wikipedia. Ditelusuri dari http://en.wikipedia.org/wiki/Copyleft pada tangal 21 Desember 2004.



Nama Kelompok:
1.    Dini Iriani               (22212195)
2.    Kasanti Oktaviani   (24212039)
3.    Richky Aprisia        (26212280)
4.    Rofifah Pratiwi       (26212666)
 





Tidak ada komentar:

Posting Komentar