HAK CIPTA DAN PENYEBARAN PENGETAHUAN
Diao
Ai Lien
Dosen
Fakultas Hukum Unika Atma Jaya Jakarta
Posting 1
I. ABSTRAKSI
Hak
cipta memainkan peranan penting dalam komunikasi ilmiah. Hal ini adalah karena
karakteristik dari hak cipta tersebut. Hak cipta bekerja di setiap tahap siklus
pengetahuan. Hak cipta, langsung maupun tidak langsung, mempengaruhi penciptaan
pengetahuan, perekaman dan pengorganisasian, publikasi, akses, penggunaan, dan
penciptaan kembali pengetahuan. Hak cipta juga terlalu memberikan penghargaan
pada penulis ilmiah, yang kadar keorisinilan karyanya, umumnya hanya sekian
persen (bukankah suatu karya ilmiah dibangun di atas penemuan terdahulu dan
karenanya mengandung karya orang lain juga). Di samping itu, hak cipta juga
memberikan dampak ’pedang bermata dua’ pada penulis dan pengguna karya ilmiah
yang orangnya seringkali sama. Artikel ini menguraikan dampak negatif hak cipta
pada komunikasi ilmiah, dan mengusulkan empat skenario untuk pengelolaan hak
cipta yang lebih efektif.
Kata kunci: hak
cipta, komunikasi ilmiah
I. PENDAHULUAN
Setiap orang yang menciptakan karya
tulis (karya ilmiah, program komputer, kesusasteraan, dsb.) dan karya artistik
(drama, musik, film, dsb.) secara otomatis mendapatkan hak cipta. Hak cipta
pertama kali mendapat perlindungan di tingkat internasional pada tanggal 9
September 1886 melalui Berne Convention for The Protection of
Literary and Artistic Works.
Hak cipta terdiri dari hak ekonomi dan
hak moral. Secara umum (terlepas dari isi perundang-undangan suatu negara), hak
ekonomi adalah hak eksklusif pencipta untuk memperoleh manfaat ekonomi dari
karya ciptanya dan produk-produk terkait. Hak ekonomi meliputi hak untuk
memperbanyak, mendistribusi, menterjemahkan, membuat adaptasi, membuat
pertunjukan, dan memperagakan (display) suatu karya cipta. Hak
moral terdiri dari paternity right (hak untuk diidentifikasi sebagai
pengarang atau direktur suatu karya), integrity right (hak untuk menolak
perubahan atas suatu karya), dan privacy right (hak pemanfaatan
foto dan film). Hak ekonomi dapat dipindahtangankan ke pihak lain yang
dapat juga memindahkannya ke pihak yang lain lagi. Hak ekonomi ada masa
berlakunya, yaitu sampai sekian tahun (misalnya 50 tahun) sesudah penciptanya
meninggal dunia. Hak moral tidak dapat dipisahkan dari pengarangnya dan ahli
warisnya, dan hal ini berlaku selamanya.
Pada mulanya hak cipta, terutama hak
ekonominya, diadakan untuk mendorong terjadinya penciptaan. Keuntungan ekonomi
yang diperoleh diharapkan dapat membantu pencipta untuk terus berkarya. Namun
dalam perjalanannya, hak cipta, terutama atas karya ilmiah, ternyata
menimbulkan dampak yang negatif terhadap penyebaran dan perkembangan
pengetahuan. Padahal dalam era ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge-based economy),
kemampuan untuk menciptakan
dan menyebarkan pengetahuan
ilmiah merupakan faktor penentu fundamental kemakmuran suatu bangsa. Penciptaan
pengetahuan itu sendiri juga sangat dipengaruhi oleh penyebaran pengetahuan
(seberapa cepat pengetahuan baru tersebar dan seberapa mudah diaksesnya).
Tulisan ini membahas dampak negatif
dari hak cipta (terutama hak ekonominya) terhadap penyebaran pengetahuan, dan
cara mengatasinya. Karena penyebaran dan pengembangan pengetahuan terjadi dan
dilakukan bersama-sama oleh semua ilmuwan yang pernah, sedang, dan akan hidup
di dunia, maka pembahasan dilakukan secara umum, dan tidak dikaitkan dengan
peraturan perundang-undangan suatu negara. Pembahasan juga akan dilakukan dalam
konteks penyebaran pengetahuan ilmiah yang juga melibatkan kemajuan teknologi
komunikasi dan informasi.
II. PEMBAHASAN
A. HAMBATAN
YANG DITIMBULKAN HAK CIPTA TERHADAP PENYEBARAN PENGETAHUAN
Ada dua faktor yang membuat hak cipta
karya ilmiah mengandung potential problems bagi perkembangan ilmu
pengetahuan. Pertama adalah karakter (nature) dari hak cipta itu
sendiri. Hak cipta memberikan pemegangnya hak untuk mempengaruhi keseluruhan siklus
pengetahuan, secara positif maupun negatif, langsung maupun tidak langsung.
Siklus pengetahuan dimulai dari penciptaan pengetahuan (melalui berpikir
analitis, kritis, konstruktif), perekaman (menulis), publikasi (mengumumkan,
menyebarkan), akses (pencarian dan penelusuran informasi), penggunaan (memilih,
membaca, mencatat), sampai ke penciptaan kembali.
Dalam pelaksanaannya, setiap tahap tersebut, langsung maupun tidak langsung, bersinggungan dengan hak cipta (hak ekonomi maupun moral). Misalnya, penciptaan bisa terjadi kalau si pencipta mempunyai kemudahan akses ke sumber yang lengkap. Pada waktu menulis (menyadur, menterjemahkan, memodifikasi, dsb.), penulis harus memperhatikan hak cipta (hak ekonomi dan hak moral) penulis dokumen yang digunakannya. Pada waktu publikasi karyanya, penulis harus memperhatikan sejauh mana dia akan melepaskan hak ekonominya dan apa konsekuensinya. Pada waktu publikasi karya orang lain, seseorang harus memperhatikan sejauh mana dia boleh memfotokopi, menyediakan ’link’ ke karya tersebut. Demikian seterusnya. Karena itu,
pemberlakuan
hak cipta yang berlebihan bisa menghambat perkembangan ilmu pengetahuan. Faktor
kedua yang bisa meningkatkan potensi masalah yang ditimbulkan oleh hak cipta
adalah, karena penulis dan pengguna karya ilmiah seringkali adalah individu
yang sama. Akibatnya, pelaksanaan hak cipta memberi dampak ‘pedang bermata dua’
pada mereka, bukan hanya dalam kasus pemanfaatan karya orang lain, tetapi juga
karya sendiri; baik pada waktu hak itu dipegang sendiri dan terlebih lagi bila
diserahkan ke penerbit komersial. Penyebaran pengetahuan ilmiah mulai dari
pencipta sampai ke pengguna melibatkan banyak pihak, yaitu pencipta (penulis),
penerbit (termasuk secondary publisher), penyalur (toko buku,
perpustakaan, dsb. )Dalam pelaksanaannya, setiap tahap tersebut, langsung maupun tidak langsung, bersinggungan dengan hak cipta (hak ekonomi maupun moral). Misalnya, penciptaan bisa terjadi kalau si pencipta mempunyai kemudahan akses ke sumber yang lengkap. Pada waktu menulis (menyadur, menterjemahkan, memodifikasi, dsb.), penulis harus memperhatikan hak cipta (hak ekonomi dan hak moral) penulis dokumen yang digunakannya. Pada waktu publikasi karyanya, penulis harus memperhatikan sejauh mana dia akan melepaskan hak ekonominya dan apa konsekuensinya. Pada waktu publikasi karya orang lain, seseorang harus memperhatikan sejauh mana dia boleh memfotokopi, menyediakan ’link’ ke karya tersebut. Demikian seterusnya. Karena itu,
PENULIS
MENYERAHKAN HAK CIPTA KE PENERBIT
Di Indonesia, penulis artikel jurnal
biasanya menyerahkan hak ciptanya kepada penerbit, secara gratis atau hampir
gratis (penulis hanya mendapat honor sekadarnya). Di negara maju, terutama
untuk jurnal ilmiah bereputasi internasional, penulis bahkan harus membayar
tidak sedikit (dalam rupiah) untuk setiap artikel yang dimuat di jurnal
tersebut, meskipun hak ciptanya diserahkan ke penerbit. Dalam hal buku,
biasanya penulis mendapat royalti dari penyerahan hak ciptanya.
Ada beberapa kepentingan yang
melatarbelakangi praktek tersebut di atas, sehingga penyerahan hak cipta ke
penerbit bisa berlangsung sampai sekarang meskipun si penulis tidak mendapatkan
keuntungan materi.
Kepentingan
penulis. Salah satu hal yang menyebabkan
penulis dengan mudah menyerahkan hak ciptanya kepada penerbit adalah karena
mereka (dosen, peneliti, mahasiswa, dsb.) umumnya lebih mementingkan penyebaran
karyanya seluas-luasnya, daripada manfaat ekonominya. Di samping itu, ada
keharusan untuk menerbitkan buku dengan ISBN atau di jurnal yang mempunyai
reputasi (scholarly journal, terutama yang peer-reviewed) agar
persyaratan kenaikan pangkat (sebagai peneliti atau dosen) yang diberlakukan
oleh organisasi induknya dapat dipenuhi. Penerbitan ini juga untuk meningkatkan
reputasi mereka.
Kepentingan
penerbit.
Penerbit mempunyai kepentingan untuk menyebarkan suatu karya sambil mendapatkan
keuntungan materi dari kegiatan tersebut. Untuk itu, penerbit berusaha untuk
meningkatkan kualitas isi dan tampilan suatu tulisan, dan mendistribusikannya
dalam jumlah besar dan cakupan geografis yang luas. Penerbit meningkatkan
kualitas suatu karya dengan cara menyediakan peer reviewer, editor,
perancang layout dan sampul depan, dsb. Dengan demikian, mereka mempunyai modal (power) untuk menolak atau menerima suatu karya untuk
diterbitkan. Pertimbangan penerbit bisa dari segi komersial dan/atau
mutu. Penerbit bahkan bisa meminta penulis yang sudah dikenal untuk menulis
topik yang menurut mereka mempunyai nilai jual yang tinggi.
Kepentingan
pengguna. Penyerahan hak cipta ke penerbit
memudahkan pengguna pada saat ingin memperbanyak, mendistribusi,
menterjemahkan, membuat adaptasi, membuat pertunjukan, atau memperagakan (display)
suatu karya cipta. Mereka tidak harus susah-payah menghubungi penulisnya yang
biasanya alamatnya lebih sulit diperoleh dibandingkan dengan alamat penerbit.
Melihat uraian di atas, nampaknya tidak ada permasalahan yang ditimbulkan oleh penyerahan hak cipta kepada penerbit. Apakah demikian? Ternyata tidak demikian kenyataannya, terutama kalau hal ini dilihat dari akumulasi pengetahuan yang sudah berlangsung begitu lama, dan melibatkan penulis yang pernah, sedang dan akan hidup di muka bumi ini. Penyerahan hak cipta oleh penulis kepada penerbit sudah berlangsung berabad-abad, yaitu seusia penerbit tertua di dunia. Elsevier Science misalnya sudah berada dalam bisnis penerbitan lebih dari satu abad, dan jurnal-jurnal pertama diterbitkan tahun 1665 oleh Academie Francaise di Paris dan Royal Society of London for the Promotion of Natural Knowledge. Untuk semua karya tersebut, bukan lagi penulisnya, tetapi penerbit yang mempunyai hak eksklusif untuk memperbanyak, mengalih-mediakan, mendistribusikan, menterjemahkan, membuat adaptasi, membuat pertunjukan, dan memperagakan (display). Penerbit bahkan berhak juga untuk memindah-tangankan hak tersebut ke penerbit lain (secondary publisher).
Melihat uraian di atas, nampaknya tidak ada permasalahan yang ditimbulkan oleh penyerahan hak cipta kepada penerbit. Apakah demikian? Ternyata tidak demikian kenyataannya, terutama kalau hal ini dilihat dari akumulasi pengetahuan yang sudah berlangsung begitu lama, dan melibatkan penulis yang pernah, sedang dan akan hidup di muka bumi ini. Penyerahan hak cipta oleh penulis kepada penerbit sudah berlangsung berabad-abad, yaitu seusia penerbit tertua di dunia. Elsevier Science misalnya sudah berada dalam bisnis penerbitan lebih dari satu abad, dan jurnal-jurnal pertama diterbitkan tahun 1665 oleh Academie Francaise di Paris dan Royal Society of London for the Promotion of Natural Knowledge. Untuk semua karya tersebut, bukan lagi penulisnya, tetapi penerbit yang mempunyai hak eksklusif untuk memperbanyak, mengalih-mediakan, mendistribusikan, menterjemahkan, membuat adaptasi, membuat pertunjukan, dan memperagakan (display). Penerbit bahkan berhak juga untuk memindah-tangankan hak tersebut ke penerbit lain (secondary publisher).
Itulah
sebabnya penerbit bisa mencantumkan pernyataan berikut ini dalam terbitannya:
”All rights
reserved. No part of this publication may be reproduced, stored in a retrieval
system, or transmitted in any form or by any means electronic, mechanical,
photocopying, recording or otherwise without the prior permission of the
publisher.”
Kutipan ini diambil dari publikasi Ashgate
Publishing Limited (Inggris) tahun 2003.
Akibatnya, penulis suatu karya harus
meminta ijin bahkan membayar pada penerbit untuk menggunakan dan
menyebarluaskan karyanya sendiri. Hal ini nampak dari kutipan berikut ini:
“A professor of
English recently expressed dismay at having to ‘unpublish’ two of his articles so that he could make
them available to his students in a packet of readings without having to pay
royalties to his publisher.” (Bennett et al., seperti dikutip oleh
Nentwich, 2001, h. 3)
Untungnya Indonesia, seperti juga
Amerika Serikat dan beberapa negara lainnya, menerapkan doktrin atau asas fair
use. Asas ini memungkinkan pemanfaatan suatu karya tanpa seijin pemilik hak
cipta sepanjang untuk kegiatan pendidikan dan penelitian, dan bukan untuk
tujuan komersial. Apakah dengan berlakunya asas fair use maka penyerahan
hak cipta kepada penerbit tidak menghambat penyebaran dan pemanfaatan suatu
karya?
Ternyata, walaupun demikian, hak cipta
masih tetap menimbulkan masalah.
Para penulis karya ilmiah yang pernah
dan sedang hidup saat ini sudah menghasilkan jutaan karya ilmiah yang telah
diserahkan hak ciptanya kepada penerbit. Mereka ini umumnya bekerja di
lembaga-lembaga pendidikan dan penelitian di seluruh dunia. Untuk memenuhi
kebutuhan informasi mereka, maka lembaga-lembaga penelitian dan pendidikan,
secara konsortium dan kebanyakan sendiri-sendiri, harus mendapatkan kembali
karya-karya tersebut dengan membayar mahal. Karya-karya tersebut umumnya dibeli
atau dilanggan melalui perpustakaan yang anggarannya terbatas menurut ukuran
negara maju apalagi negara sedang berkembang. Biaya yang mahal terutama sekali
dirasakan dalam hal berlangganan database dokumen elektronik. Di samping biaya
lisensi yang tidak murah yang harus dibayar setiap tahun, kendala yang harus
dihadapi perpustakaan adalah tertutupnya akses ke database tersebut pada saat
langganan dihentikan. Ini berarti, meskipun pernah mengeluarkan milyaran uang
untuk database tersebut, perpustakaan tidak memiliki copy apapun dari
jurnal-jurnal dalam database tersebut.
Hal ini berbeda dengan pembelian atau
langganan dokumen tercetak. Penyerahan hak cipta kepada penerbit juga mempersulit si penulis sendiri untuk
mengalih-mediakan (ke dalam dokumen elektronik, cd-rom, dsb.) dan
menyebar-luaskan karyanya (misalnya: memfotokopi, menyediakan links).
Tanpa seijin penerbit, penulis tidak bisa mempublikasikan karyanya bahkan di
situs (pribadi atau lembaga) sendiri. Penulis juga tidak bisa mempublikasikan
karya tersebut di jurnal lain yang mempunyai segmen pembaca yang berbeda. Hal
ini tentu saja menghambat penyebaran informasi. Padahal, menurut penelitian,
akses yang dibuka seluas-luasnya dan semudah-mudahnya ke suatu dokumen sangat
meningkatkan pemanfaatan dokumen tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, C. (1999).
Hak cipta: pelanggaran hak cipta dan perundang-undangan
terbaru hak cipta indonesia. Jakarta:
Novindo Pustaka Mandiri.
Birdsall, W.F. (2005). Towards an integrated knowledge ecosystem: a canadian research strategy. A report
submitted to the Canadian Association of Research Libraries / L'Association des bibliothèques de
recherche du Canada (CARL/ABRC). Ditelusuri pada tanggal 11 April 2006
dari http://www.carl-
abrc.ca/projects/kdstudy/public_html/results.html
Durham, A.L.
(2004). Brigham Young University Law Review, vol. 2004, iss.1,
69 hlm.
Houghton,
J.W., Steele, C., dan Henty, M. (2003).
Changing research practices in the
digital
information and communication environment.
Ditelusuri dari
http://www.dest.gov.au/sectors/research_sector/publications_resources/other_publication
s/changing_research_practices.html
pada tanggal 1 April 2006.
Nentwich, M. (2001). (Re-) de-commodification in academic knowledge
distribution?
Paper for the 5 th ESA Conference, SSTNET session 4 on
“Commodification
of Knowledge”, 28/8-1/9 2001, Helsinki University.
Sahu, D.K.,
Gogtay, N.J., and Bavdekar, S.B. (2005).
Effect of open access on citation
rates for a
small biomedical journal. Paper
presented in the Fifth International
Congress on
Peer Review and Biomedical Publication, 16-18 September 2005, Chicago,
USA. Ditelusuri dari http://openmed.nic.in/1174/
pada tanggal 1 April 2006.
Wikipedia. Ditelusuri dari http://en.wikipedia.org/wiki/Copyleft
pada tangal 21 Desember 2004.
Wikipedia. Ditelusuri dari http://en.wikipedia.org/wiki/Copyleft pada
tangal 21 Desember 2004.
Nama Kelompok:
1.
Dini Iriani (22212195)
2.
Kasanti Oktaviani (24212039)
3.
Richky Aprisia (26212280)
4.
Rofifah Pratiwi (26212666)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar