SEJARAH DAN TEORI PERLINDUNGAN
HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL
Syafrinaldi
(Dosen tetap dan Direktur Pascasarjana Universitas Islam Riau)
Posting 2
D. Kelahiran Teori Hak Milik
Intelektual
Istilah Hak Milik
Intelektual (HAMI) atau yang dikenal dalam bahasa asing “geistiges Eigentum”
(Jerman), atau intellectual property right (Inggris), atau intelectuele
propriete (Perancis) sangat dipengaruhi oleh pemikiran John Locke tentang
hak milik. Dalam bukunya, Locke mengatakan bahwa hak milik dari seorang manusia
terhadap benda yang dihasilkannya itu sudah ada sejak manusia itu lahir. Jadi
benda dalam pengertian di sini tidak hanya benda yang berwujud tetapi juga
benda yang abstrak, yang disebut dengan hak milik atas benda yang tidak
berwujud yang merupakan hasil dari intelektualitasmanusia.
Sehubungan dengan munculnya ajaran baru tentang Hak Milik Intelektual, I. Kant dalam bukunya “Von der Unrechtmabigkeit des Buchernachdrucks” tahun 1785 menekankan, bahwa si pencipta (Autor) memiliki hak yang tidak bisa dilihat atas karyanya, yang oleh Kant hak itu disebut dengan “Ius Personalissimus”, yaitu hak yang lahir dari dalam dirinya sendiri (hak kepribadian). Sementara itu filsuf lain, seperti Fichte mengutarakan, bahwa seorang autor mempunyai hak atas suatu karya intelektualitasnya. Fitche lalu membedakan antara buku yang merupakan hasil karya dalam bentuk cetakan dengan isi dari buku itu sendiri (tulisannya). Dengan pembedaan ini eksistensi ajaran “geistiges Eigentum” di Jerman semakin kokoh dikalangan masyarakat umum. Hegel juga membedakan benda dalam dua bentuk: benda nyata (Sacheigentum) dan produksi intelektualitas manusia (geistige produktion).
Sehubungan dengan munculnya ajaran baru tentang Hak Milik Intelektual, I. Kant dalam bukunya “Von der Unrechtmabigkeit des Buchernachdrucks” tahun 1785 menekankan, bahwa si pencipta (Autor) memiliki hak yang tidak bisa dilihat atas karyanya, yang oleh Kant hak itu disebut dengan “Ius Personalissimus”, yaitu hak yang lahir dari dalam dirinya sendiri (hak kepribadian). Sementara itu filsuf lain, seperti Fichte mengutarakan, bahwa seorang autor mempunyai hak atas suatu karya intelektualitasnya. Fitche lalu membedakan antara buku yang merupakan hasil karya dalam bentuk cetakan dengan isi dari buku itu sendiri (tulisannya). Dengan pembedaan ini eksistensi ajaran “geistiges Eigentum” di Jerman semakin kokoh dikalangan masyarakat umum. Hegel juga membedakan benda dalam dua bentuk: benda nyata (Sacheigentum) dan produksi intelektualitas manusia (geistige produktion).
Seorang Jurist Jerman
yang bernama, Klostermann, pada tahun 1869 untuk pertama kalinya memakai
istilah Hak Milik Intelektual (geistiges Eigentum) dalam karya yang
berjudul: “Das geistige Eigentum an SchriftwerkenKunstwerkenund Erfindungen
nach preubischem und internationalem Recht”, jilid 1. Karya Klostermann ini
akhirnya memberikan sumbangan yang sangat berarti bagi lahirnya peraturan
perundangan dalam bidang Hak cipta dan desain industri di Norddeustschen Bundes
dan Jerman Raya (Deutsches Reich). Pada tahun 1878 karya Klostermann ini
mengalami perbaikan dan penyempuranaan dan terbit dengan judul yang baru “Das
Urheberrecht an Schriftwerken, Abbildungen, musikalischen Kompositionen und
dramatischen Werken”. Karya Klostermann yang lain adalah: “Das
Urheberrecht an Schrift- und Kunstwerken, Abbildungen, Kompositionen,
Photographien, Mustern und Modellen”, juga “Die Patentgesetzgebung aller
Lander nebst den Gesetzen uber Musterschutz und Markenschutz” setahun
kemudian tahun 1877 muncul lagi karya dalam bidang paten “Das Patentgesetz
Fur das Deutsche Reich”. Bertitik tolak dari karya Klostermann ini, maka
pengertian dari istilah “Hak Milik Intelektual” (geistiges Eigentum)
mencakuptidak hanya Hak Cipta saja, melainkan juga paten, paten sederhana,
merek, disain industri dan tata letak sirkit terpadu.
E. Teori tentang Hak Kepribadian (Moral Right or Personlichkeitsrecht) dan Hak atas Benda Tak Berwujud (Immaterialguterrecht)
Pada Hak Milik
Intelektual sesungguhnya terkandung dua sisi: hak kepribadian dan hak yang
bersifat material (ekonomis). Pandangan kedua sisi ini pula yang melahirkan dua
teori yang cukup tersohor dalam perkembangan Hak Milik Intelektual sampai pada
hari ini. pandangan pertama mengatakan, bahwa Hak Milik Intelektual itu
terdapat kedua aspek itu yang merupakan satu kesatuan. Akan tetapi di antara
kedua aspek itu, aspek kepribadian lebih dominan, karena terjalinnya hubungan
yang erat antara si pencipta dengan ciptaannya. Teori ini dikenal dengan Monistism
Theory (Teori Monistisme) yang dipelopori oleh Bluntschi dan kemudian
dikembangkan oleh Gierke. Teori ini, seperti dikemukakan oleh Gierke, lebih
jauh menjelaskan, bahwa sebuah karya cipta adalah merupaakn hasil / produk dari
intelektualitas manusia, sehingga menimbulkan hubungan sangat erat antara karya
cipta dengan si penciptanya (autor). Jadi, teori ini menempatkan sifat
kepribadian dari si penciptanya sebagai hal yang “Primair” dan menempatkan
sifat ekonomisnya sebagai hal yang “Sekundair”. Dengan kata lain dapat dikatakan,
bahwa kepentingan kepribadian si pencipta lebih ditonjolkan dari pada
kepentingan ekonomisnya. Sehingga, jika si penciptanya sudah meninggal, ahli
warisnya masih tetap mempunyai hak untuk mempertahankan kepentingan kepribadian
si penciptanya. Kepentingan si pencipta itu bersifat abadi dan kekal (Forever),
sedangkan kepentingan ekonomis si pencipta itu terbatas dengan waktu, seperti
untuk Hak Cipta dibatasi sampai 50 (lima puluh) tahun p.m.a
Pandangan kedua
yang dikenal dengan teori Dualistism (teori Dualistisme) mengatakan,
bahwa antara sisi kepribadian dan ekonomis itu merupakan dua hal yang terpisah
satu sama lainnya. Hak cipta merupakan hak yang didalamnya terkandung nilai
ekonomis semata. Teori ini dipelopori oleh ahli hukum terkenal dari Jerman, Josef
Kohler dengan teorinya yang terkenal dengan “Immaterialguterrecht”. Kohler
menjelaskan, bahwa adanya hubungan yang sangat istimewa antara orang (autor)
dengan benda tak berwujud (immateriales Gut). Jadi, menurut kohler, aspek
ekonomis dari Hak Milik Intelektual lebih menonjol dari aspek kepribadiannya.
Dari kedua teori di
atas melahirkan teori ketiga yang pada prinsipnya merupakan penyempuranaan dari
pandangan yang pertama, sehingga teori ini disebut dengan the modern monistism
theory (teori monistisme modern)-menurut teori ini, antara aspek kepribadian
dan ekonomi dari Hak Milik Intelektual ini merupakan satu kesatuan yang utuh.
Keduanya sama-sama mendapat perlindungan hukum dari hukum positif, baik oleh
hukum internasional maupun oleh hukum negara-negara nasional. Teori ini di
Jerman dipelopori oleh Jurist abad ke 20, seperti Ulmer, Schricker, dll. Dalam
Urhebergesetz tahun 1965 (UUHC Jerman) pasal 11 secara jelas menganut teori
yang terakhir ini. Begitu juga dengan UU Hak Cipta No. 6 tahun 1982 juga menganut
paham yang ketiga ini.
F. Pengaruh Hukum
Internasional dalam Perkembangan Hak Milik Intelektual
Peranan Hukun
internasional, baik perjanjian bilateral maupun multilateral, dalam perkembangan
hokum tentang perlindungan Hak Milik Intelektual tidak dapatdipungkiri. Hal ini
bias dilihat dari berbagai perjanjian bilateral yang diadakan oleh
Negara-negara atau Negara dengan kota pada waktu itu dengan tujuan melindungi
Hak Milik Intelektual seperti Hak Cipta. Misalnya saja perjanjian Preuben
(Jerman pada waktu itu) dengan kerajaan Inggris pada tanggal 13 Mei 1846 dan 14
Juni 1855. Perjanjian antara kota Hannover (di Jerman) dengan kerajaan Inggris
tanggal 16 Agustus 1853.
Pada tingkat
perjanjian multiteral, pada tanggal 20 Maret 1883 telah ditanda tangani
konversi Paris tentang Perlindungan Hak Milik Perindustrian (Paris
Convention for the Protection of Industrial Property). Sepuluh Negara yang
sepakat pada waktu itu ialah: Belgia, Jerman, Prancis, Inggris, Itali,
Luxemburg, Monako, Swiis, Spanyol dan Tunisia. Perjanjian Bern merupakan
tonggak sejarah penting dalam hokum internasional untuk memberikan perlindungan
hukum atas Hak Milik Intelektual, khususnya Hak Cipta, sedangkan perjanjian Paris
untuk bidang Hak Milik Perindustrian, seperti Paten dan Merek, desain Industri,
rahasia dagang, desain tata letak sirkit terpadu, perlindungan varietas tanaman
dan anti monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Perjanjian Bern telah
beberapa kali mengalami perbaikan dan penyempurnaan, yaitu pada tanggal 13
November 1908 dan tanggal 20 Maret 1914 di Berlin, tanggal 2 Juni 1928 di Roma,
tanggal 26 Juni1948 di Brussel, tanggal 14 Juli 1967 di Stockohlm dan di Paris
tanggal 24 Juli 1971. Indonesia sejak 5 Juni 1997 telah meratafikasoBern dan
dengan demilian terikat dengan Hukum internasional tersebut.
Setelah
ditanda tangani perjanjian Paris dan Bern, beberapa perjanjian internasional
lainnya mengikuti langkah sepuluh Negara penandatangan perjanjian Bern dengan
mendirikan berbagai organisasi internasional yang bertugas untuk memperhatiakn
masalah perlindungan Hak Milik Intelektual di berbagai Negara di dunia.
Deklarasi
Universal tentang Hak Asasi Manusia yang diploklamirkan oleh PBB (Universal
Declaration of Human Rights) pada tanggal 10 Desember 1948 dalam
Artikel 27 Ayat 2 juga telah meningkatkan kepada Negara-negara dunia
tentang perlindungan Hak Milik Intelektual itu. Art. 27 Ayat 2: “Everyoney
has the right to the protection of the moral and material interests from any
scientific, literary or artistic production of which he is the author”.
Perjanjian
internasional untuk mendirikan Organisasi Hak Milik Intelektual seDunia (World
Intellectual Property Organisation – WIPO/ OMPI) dilakukan pada tanggal 14 Juli
1967 di Stockohlm. Organisasi ini bertugas untuk menggalang kerja sama antara
Negara dalam bidang perlindungan Hak Milik Intelektual, seperti yang termaktub
dalam artikel 3 huruf i WIPO, organisasi ini tidak saja mengurusi mengenai
HakCipta, tetapi juga Hak Milik dalam bidang Industri, seperti paten, rekaman
suara, hak penyiaran, muster dan model, merek dan merek dagang serta masalah
paten. WIPO adalah merupakan pusat administrasi dari perjanjian Bern dan
mempunyai kerjasama yang erat dengan organ Persatuan Bangsa-Bangsa UNESCO
(United Nations for Education, Social and Cultul Organisation).
Setelah
ketidakberdayaan GATT (General Agreement on Tariff and Trade) dalam
menjalankan misinya dalam mengatur berbagai hal dalam perdagangan dan tariff
intenasional, maka sejak tanggal 15 April 1994 secara resmi GATT diganti dengan
lembaga baru yang mengurusi mengenai perdagangan dunia yang dikenal denga World
Trade Organisatio (WTO). Di samping WTO pada waktu yang sama juga
dihasilkan Perjanjian yang berkenaan dengan aspek-aspek Hak Milik Intelektual (Trade
Related Aspects of Intellectual Property Rights – TRIPs). Dalam Preambel
Perjanjian TRIPs ini dinyatakan, bahwa TRIPs bertujuan untuk memberikan
perlindungan huku yang lebih baik kepada Hak Milik Intelektual.
G. Perlindungan Hak Milik Intelektual di Indonesia
Sebagai negara bekas
jajahan Belanda, maka sejara hukum tentang perlindungan HAMI di Indonesia tidak
bisa dilepaskan dengan sejarah hukum serupa di Belanda pada masa itu, karena
hampir segala peraturan yang berlaku di Belanda waktu itu juga diberlakukan di
Hindia Belanda (nama Indonesia waktu itu) dengan azas konkordansi. Maka dari
itu bila kita lihat dari masa penjajahan sampai sekarang ini, usia HAMI boleh
dikatakan sudah lama. Tapi bila dilihat dengan kenyataan yang ada sampai saat
ini, maka ketentuan HAMI masih jauh dari yang diharapkan menurut standar
Internasional, baik dilihat dari rumusan hukum positif apalagi dari segi
pelaksanaan hukum itu sendiri di lapangan dalam menghadapi kasus-kasus berkenaan
dengan pelanggaran HAMI.
Berdasarkan kepada
pasal II aturan Peralihan UUD 1945, segala peraturan perundang-undangan yang
dibuat pada zaman penjajahan dan yang berlaku sampai saat ini dinyatakan masih
berlaku sepanjang peraturan tersebut belum diganti dengan yang baru dan tidak
bertentangan dengan UUD 1945. Secara khusus Keputusan Pemerintah tanggal 10
Oktober 1945 juga menegaskan hal itu. Berikut uraian sejarah HAMI di Indonesia.
1. Hak Cipta
UUHC yang pertama
berlaku di Indonesia adalah UUHC tanggal 23 September 1912 (Auterswet 1912)
yang berasal dari negeri Belanda. UUHC tahun 1912 ini masih terus
diberlakukan, meskipun baru untuk pertama kalinya Indonesia mencoba untuk
mewujudkan suatu UU nasional tentang Hak Cipta. Usaha untuk mewujudkan UUHC
nasional ini dirintis dengan dihasilkannya RUU tentang Hak Cipta yang untuk
pertama kalinya dibicarakan pada tanggal 9 Januari 1965. Kajian lanjut tentang
RUU ini pada tanggal 20 sampai dengan 22 Oktober 1975 diadakan seminar tentang
Hak Cipta guna mendapatkan masukan dari masyarakat tentang nasib RUU tersebut.
Setelah menjalani waktu yang cukup panjang pada tanggal 12 April 1982 RUU Hak
Cipta disetujui oleh DPR untuk ditetapkan menjadi UU No. 6 tahun 1982 tentang
Hak Cipta dan diberlakukan sejak hari itu juga. Dengan diberlakukannya UU No. 6
Tahun 1982, maka UUHC tahun 1912 dinyatakan tidak berlaku lagi. Lima tahun
kemudian UUHC ini mengalami perubahan dengan UU No. 7 tahun 1987 dan 12 tahun
kemudian dirubah lagi dengan UU No. 12 tahun 1997. Perubahan terhadap UU
tentang Hak Cipta, Paten dan Merek pada tahun 1997 ini memang merupakan satu
paket reformasi hukum dalam bidang HAMI. Pada tanggal 11 Juli 2002 Dewan
Perwakilan Rakyat RI telah pula menyetujui RUU Hak Cipta menjadi Undang-Undang
Hak Cipta yang baru dan sekaligus menggantikan UU Hak Cipta yang lama.
2. Paten
Peraturan
zaman penjajahan tentang HAMI, dapat dikatakan sebagai ketentuan hukum tentang
paten yang tertua di bidang HAMI. Dalam “Reglement op het verlenen van
uitsluitende regten op uitvindingen, invoeringen en verbeteringen van
voorwerpen van kunst en volksvlijk 1817”(ketentuan tentang pemberian hak
secara eksklusif terhadap penemuan, pengenalan dan perbaikan atas bidang
kesenian rakyat) yang kemudian tahun 1844 diberlakukan di Hindia Belanda. Pada
tahun 1870 undang-undang ini tidak diberlakukan lagi atau dicabut.
Undang-undang ini tidak segera diganti dengan yang baru, karena baru pada tahun
1911 UU tentang Paten diberlakukan yang setahun sebelumnya (tahun 1910) sudah
diberlakukan di Belanda. UU tahun 1911 ini kemudian mengalami beberapa kali
perubahan dan penyempurnaan. Perbaikan dan penyempurnaan itu dilakukan pada
tahun 1916, 1921, 1922, 1931, 1936, 1937 dan terakhir tahun 1949. Setelah
Indonesia merdeka, keberadaan UU tentang Paten ini mulai mendapat perhatian
pada Jurist Indonesia, karena prinsip souverenitat yang dianut oleh UU ini
sudah dianggap tidak sesuai lagi dengan nafas kemerdekaan RI. Sebabnya adalah,
bahwa wewenang pengujian paten berada di Belanda, sedangkan Jakarta atau
Indonesia hanya dianggap sebagai kantor cabang dari kantor paten pusat di
Belanda. Hal ini jelas bertentangan dengan kedaulatan negara Indonesia sebagai
negara merdeka yang diakui oleh dunia internasonal.
Berdasarkan
kepada hal di atas, maka pada tanggal 28 Agustus 1953 Menteri Kehakiman RI
mengeluarkan Pengumuman tentang Pencatatan Sementara untuk Paten. Ketentuan ini
merupakan temporary lawdi bidang paten untuk mengisi kekosongan hukum
dan juga sebagai bukti, bahwa sebagai negara berdaulat Indonesia tidak bisa didikte
oleh kekuatan luar negeri termasuk dalam hal paten. Polemik ketentuan hukum
tentang paten ini baru dapat diselesaikan setelah pemerintah mengeluarkan UU
No. 6/1989 tentang Paten. Dengan diberlakukannya UU No 6/ 1989, maka muncul
pertanyaan: apakah Pengumuman Menteri Kehakiman RI tanggal 28 Agustus 1953
masih tetap berlaku? Untuk jawabannya lihat pasal 131 ayat 1 dinyatakan, bahwa
dalam waktu satu tahun sejak tanggal mulai berlakunya UU No 6/1989, mereka yang
telah mengajukan pendaftaran permintaan paten berdasarkan Pengumuman Pemerintah
tahun 1953 dalam 10 tahun sebelum tanggal mulai berlakunya UU No. 6/ 1989 ini,
dapat mengajukan permintaan paten berdasarkan ketentuan undang-undang.
Selanjutnya ayat 2 menjelaskan lagi, bahwa apabila permintaan paten yang telah
terdaftar dan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 tidak
diajukan kembali dalam saktu satu tahun terhitung sejak tanggal berlakunya UU
ini, permintaan paten tersebut dianggap berakhir. Ayat 3 melanjutkan lagi,
bahwa pendaftaran permintaan paten berdasarkan Pengumuman Pemerintah
sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 yang diajukan lebih dari 10 tahun sebelum
mulai tanggal berlakunya UU ini, dinyatakan gugur. UU tentang Paten ini
pada tahun 1997 mengalami revisi dengan UU No. 13 tahun 1997. Pada akhirnya UU
Paten 1997 ini digantikan oleh UU Paten No. 14 tahun 2001.
3. Merek
Ketentuan
hukum tentang perlindungan atas merek untuk pertama kalinya dimuat dalam KUH
Pidana (Wetboek van Strafrecht – WvS) Hindia Belanda tahun 1848. Pasal 89 WvS
menetapkan, bahwa penyalahgunaan atas segel, stempel dan merek atas lembaga
Bank atau perdagangan yang dilindungi oleh hukum. Sedangkan undang-undang
tentang merek untuk Hindia Belanda baru ditetapkan pada tahun 1885. Delapan
tahun kemudian, tahun 1893 setelah Perjanjian Madrid tentang Pendaftaran Merek
Internasional disetujui, UU Merek baru bagi Hindia Belanda diberlakukan untuk
menggantikan UU Merek sebelumnya. UU Merek ini mulai berlaku pada tanggal 1
Januari 1894. Pada tahun 1905 UU Merek ini mengalami perubahan dengan Stb. No.
427 tahun 1905. Selanjutnya UU Merek tahun 1905 digantikan dengan UU Merek yang
baru pada tahun 1912 (Reglement Industrieele Eigendom 1912) yang mulai
diberlakukan pada tanggal 1 Maret 1913.
Enam belas
tahun setelah Indonesia merdeka baru pada tahun 1961 mempunyai undang-undang
nasional tentang Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan, yakni UU No. 21 tahun
1961. Berbagai kelemahan yang dimiliki oleh UU No. 21 ini menyebabkan
Pemerintah Indonesia untuk menggantikannya dengan UU tentang Merek yang baru
dengan UU No. 19 tahun 1992. Dengan diberlakukannya UU No. 19 ini, maka UU No.
21 tahun 1961 dinyatakan tidak berlaku lagi (Pasal 89 UU No. 19/1992). UU No.
19/1992 ini baru berlaku secara efektif pada tanggal 1 April 1993. UU Merek yang
baru berlaku empat tahun ini mengalami nasib yang sama dengan UU tentang Paten,
karena pada tahun 1997 UU No. 19/ 1992 direvisi dengan UU No. 14 tahun 1997.
Seperti halnya UU Paten, UU Merek baru yakni UU No. 15 tahun 2001
menggantikan UU Merek yang lama.
Penutup
Dari perkembangan
sejarah lahirnya Hak Milik Intelektual di atas, dapat dipahami dengan jelas
betapa bijaknya para ilmuwan dulu yang telah melahirkan suatu gagasan atau ide
untuk memberikan perlindungan hukum terhadap suatu karya Hak Milik Intelektual.
Jerman dapat dikatakan sebagai negara tertua yang mempelopori lahirnya hukum
perlindungan Hak Milik Intelektual yang kemudian diikuti ileh negara-negara
Eropa lainnya.
Suatu hal yang tidak
dapat dipungkiri, bahwa dalam perjalanan waktu dari masa ke masa telah
menunjukkan kepada kita bahwa perkembangan hukum internasional dalam bidang Hak
Milik Intelektual sangat monumental sekali sebagaimana bisa dilihat dengan
lahirnya TRIPs-Agreement pada tahun 1994.TRIPs-Agreement menyampaikan pesan komando
kepada negara-negara internasional untuk melakukan harminisasi peraturan
perundang-undangan nasional dengan TRIPs-Agreement dan ketentuan-ketentuan
hukum internasional lainnya
Daftar Pustaka
Bluntschi, Deutsches Privatrecht, 1864, hal.15;
bandingkan juga Rehbinder, Johan Caspar Bluntschi Beitrag zur Theorie des
Urheberrechts, dalam UFITA Jilid 123/1993.
Fichte, Beweis der Unrechtmabigkeit des
Buchernadrucks, 1973, dalam Berliner Zeitschrift, Jilid ke 21.
Gierke, Deutsches Privatrecht, 1895 Band 1, edisi
cetakan ulang tahun 1936, hal. 748 dstnya.
Hegel, Vorlesungen uber Rechtsphilosophie 1811-1831,
Edition dan Kommentar von llting, Karl-Heinz, Jilid 3, 1974, h. 68, 69.
Hubmann, Geistiges Eigentum, dalam Bettermann/
Nipperdey/ Scheuner, Die Grundrechte, Handbuch der Theorie und Praxis der
Grundrechte, Jilid IV.
Institutiones II. 1. 33; Digesta XLI.1.9.1; Gieseke,
Die geschichtliche Entwicklung des deutschen Urheberrechts, 1957.
Lembar Negara No. 15 Tahun 1982.
LembaranNegara No. 290 Tahun 1961.
Lembaran Negara No.31 Tahun 1997.
Lembaran Negara No. 81 Tahun 1992.
Lembaran Negara RI No. 29 Tahun 1997.
Lembaran Negara RI No. 30 Tahun 1997.
Lembaran Negara RI No. 39 Tahun 1989.
Lembaran Negara RI No. 42 Tahun 1987.
Locke, 1988, Two Treatises of Goverment, edited and
introduced by Peter Laslett.
Schricker, Urheberrecht: Kommentar, 1987.
Staatsblad No. 109 tahun 1885.
Staatsblad No. 545 tahun 1912.
Ulmer, 1980, Urheber-und Verlagsrecht.
2EB12
NAMA KELOMPOK
:
DINI IRIANI
( 22212195 )
KASANTI OKTAVIANI (
24212039 )
RICHKY
APRISIA
( 26212280 )
ROFIFAH
PRATIWI
( 26212666 )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar