SEJARAH DAN TEORI PERLINDUNGAN
HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL
Syafrinaldi
(Dosen tetap dan Direktur Pascasarjana Universitas Islam Riau)
Posting 1
A. Pendahuluan
Hukum perlindungan Hak
Milik Intelektual (HAMI) adalah sangat penting, sehingga tidak menjadi urusan
pemerintah semata melainkan menjadi tanggung jawab kita semua. Apalagi hak
milik intelektual tidak hanya bersinggungan dengan masalah nama dan kehormatan
saja bagi si pencipta maupun bagi si penemu dalam hal paten,tetapi sudah
merupakan salah satu pintu gerbang untuk menghasilkan uang bagi pemilik hak
intelektual/karya cipta dan penemu termasuk keluarganya.
Perkembangan ilmu dan teknologi (iptek) yang sangat
cepat tidak hanya telah memberikan kemudahan bagi umat manusia dalam
menyelesaikan pekerjaanya sehari – hari dalam berbagai segi kehidupan, tetapi
juga telah mengancam sumber rezeki bagi si pencipta/ si penemu yang telah
menghasilkan berbagai karya cipta dan penemuan sebagai hasil daya
kreatifitasnya dalam mewujudkan mutu intelektualitasnya sebagai sumbangan untuk
turut serta mencerdaskan kehidupan bangsa. Berbagai praktek pelanggaran
terhadap hak milik intelektual ini telah berlangsung sejak lama dan hingga kini
masih saja terjadi bahkan dengan intensitas yang lebih tinggi. Apalagi kemajuan
iptek turut memfasilitasi pelanggaran hak milik intelektual itu dengan berbagai
cara seperti pembajakan buku, film dan rekaman lainnya melalui disket, CD, VCD,
LD dan lain – lain cara atau yang dikenal dengan istilah “Multi Media” yang
pada kenyataannya sangat sukar untuk dipantau. Celah – celah pelanggaran inilah
yang seringkali dimanfaatkan oleh pihak – pihak yang hendak meraup keuntungan
besar dengan cara yang mudah dengan sedikit mengeluarkan biaya, tanpa
memikirkan kerugian pihak lain, seperti si pencipta / si penemu dan negara.
Tulisan ini mencoba untuk memberikan gambaran secara
lengkap dan rinci tentang hukum yang mengatur tentang perlindungan HAMI mulai
dari sejarahnya dari abad kuno hingga saat ini, juga menelaah keberadaan
peraturan perundang – undangan nasional serta juga hukum internasional dalam
bidang HAMI. Karena itu, topik ini sangat bermanfaat untuk dibaca dan ditelaah
tidak hanya untuk tujuan ilmiah bagi mahasiswa dan dosen, tetapi juga bagi
kalangan praktisi seperti pengusaha, pengacara dan para penegak hukum yang
ingin mendalami hukum tentang perlindungan HAMI.
B. Abad Kuno dan Pertengahan
Sejarah Hak Milik
Intelektual sudah berlangsung lama sekali. Namun
Pengakuan masyarakat internasional terhadap hak milik
yang memilik special character ini dan yang berbeda dengan hak milik pada
umumnya seperti benda (barang) nyata (materialles Eigentum) masih baru. Lamanya
proses pengakuan ini dikarenakan oleh faktor tidak sadarnya masyarakat
internasional pada waktu itu tentang sifat yang melekat pada Hak Milik
Intelektual itu, sebab mereka belum mengenal hak milik dalam bentuk lain selain
benda atau barang.
Hak Milik intelektual dapat dibagi atas hak cipta, paten, merek, desain
industri, rahasia dagang, desain tata letak sirkit terpadu, perlindungan
varietas tanaman dan anti monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Pada abad
kuno dan pertengahan (Altertum dan Mittelalter) hak cipta belum dikenal oleh
masyarakat, sekalipun banyak karya cipta yang telah dihasilkan oleh manusia
pada waktu itu. Karya cipta dianggap sebagai hal biasa yang eksistensinya tidak
perlu dilindungi oleh peraturan perundang – undangan (Gesetz), karena mereka
beranggapan, bahwa hak cipta tidak memiliki arti yang strategis dalam kehidupan
manusia, seperti rumah, tanah atau benda lainnya.
Corpus Juris yang menyadari kehadiran Hak Milik Intelektual berupa ciptaan dalam
bentuk tulisan atau lukisan diatas kertas. Namun pandangan itu belum sampai
kepada pembedaan antara benda nyata (materialles Eigentum) dengan benda
tak nyata (immmaterialles Eigentum) yang merupakan produk kreasi
intelektualitas manusia. Istilah immaterialles Eigentum inilah yang sekarang
disebut dengan Hak Milik Intelektual (HAMI) atau Hak Atas Kekayaan Intelektual
(HAKI) atau Hak Kekayaan Intelektual (HKI) yang merupakan terjemahan dari kata
asing “geistiges Eigentum” atau “intellectual property right”.
Pada abad pertengahan, fenomena pengusaan sesuka hati terhadap Hak Cipta oleh
publik semakin meningkat, karena waktu itu orang dapat dengan sesuka hatinya
memperbanyak ciptaan orang lain dan memperjualbelikannya, sehingga fenomena itu
melahirkan teori tentang Hak Milik Percetakan (verlagseigentumslehre). Jadi,
pada masa ini karya cipta manusia itu masih dianggap sebagai penjelmaan dari
ciptaan Tuhan, sehingga kehadirannya di tengah – tengah masyarakat dianggap
sebagai karya cipta yang tidak bertuan atau “anonym”.
C. Masa Keistimewaan (Privileg) dan Hak Milik Percetakan
Yang dimaksud dengan
masa hak keistimewaan atau privileg adalah dimana hak untuk memperbanyak suatu
karya cipta diberikan kepada percetakan/penerbit. Artinya, percetakan mendapat
hak istimewa (Privileg) untuk memperbanyak dan menjual hasil ciptaan seseorang.
Yang berhak memberikan hak istimewa ini adalah raja ataupun penguasa.
Era privileg ini telah
dimulai sejak ditemukannya cetakan buku di Gutenberg Jerman sekitar tahun 1445
dan Kupfertich serta seni pahat kayu (Holzschneidekunst). Dari sini muncul
teori tentang larangan untuk mencetak ulang suatu buku, kecuali diperolehnya
privileg (izin) untuk melakukan cetak ulang. Pemberian privileg pada prinsipnya
dimaksudkan untuk memerangi kejahatan pembajakan buku yang biasa dilakukan
dengan cara mencetak ulang buku tersebut dalam jumlah besar dan secara ilegal.
Privileg pertama diberikan oleh kota Venesia (itali) kepada Johan von Speyer
pada tahun 1469 untuk jangka waktu 5 tahun. Ini merupakan teori awal yang
menunjukan, bahwa Hak Milik Intelektual ini dibatasi oleh waktu. Anehnya
Privileg yang diterima Johan von Speyer bukan dimaksudkan sebagai suatu
perlindungan hukum terhadap karya – karya sastra, melainkan perlindungan
terhadap suatu proses baru, yakni seni dari suatu cetakan buku
(Buchdruckkunst). Dengan ketentuan Basler tahun 1531, barulah pemberian
Privileg dimaksudkan untuk perlindungan hukum terhadap karya cipta berupa buku.
Pada prinsipnya, perlindungan hukum yang diberikan pada karya cipta pada masa
itu sangatlah jauh berbeda dengan perlindungan serupa yang dikenal pada mas
kini. Dulu, yang diberikan perlindungan itu adalah buku (cetakan) dalam
pengertian benda, sedangkan yang dilindungi sekarang ini adalah bukan bukunya
itu dalam pengertian yang (konkret), melainkan isi dari buku itu yang
merupakan hasil dari karya intelektual manusia.
Pada masa ini, teori tentang Privileg berkembang pesat
di negara – negara Eropa, seperti di Jerman, Inggris dan perancis
1.
Jerman
Di negara Jerman, pemberian suatu Privileg pada waktu itu erat kaitannya
dengan hal sensor (Zensur) yang dilakukan oleh para raja atau para penasehat
spiritual raja dengan maksud melindungi buku – buku cetakan. Komosaris buku –
buku yang dibentuk oleh kerajaan pada tahun 1579 di Frankfurt am Main dan
Leizig mempunyai arti khusus dalam sejarah privileg di Jerman, karena kedua
kota tersebut menjadi pusat perdagangan buku dan tempat pameran buku – buku
pada masa itu.
Ajaran tentang Hak
Milik Percetakan di Jerman berkembang pesat dengan dibuatnya ketentuan –
ketentuan tentang pencetakan buku (Buchdruckerordnungen) di Frankfurt am Main
tahun 1588, 1598 dan 1660, juga di Nurnberg tahun 1673. Untuk pertama kali
melalui sebuah Keputusan federal (Bundesbeschluß) pada tahun 1835 menyatakan
pelarangan untuk memperbanyak karya cipta di alam teritorial Federal Jerman dan
sekaligus juga memberikan perlindungan hukum terhadap karya cipta dimaksud.
Melalui Keputusan Parlemen (Beschluß des Bundestags) tanggal 31 Oktober 1837
perlindungan hukum terhadap Hak Cipta dibatassi sampai 10 tahun p.m.a (post
mortem auctoris) atau setelah si pencipta meninggal. Jangka waktu perlindungan
Hak Cipta ini kemudian diperpanjang menjadi 30 tahun p.m.a dengan Beschulß
tahun 1845.
Pada tanggal 11 Juli 1847 untuk pertama kalinya Preußen jerman memiliki
undang – undang Hak Cipta di bidang ilmu pengetahuan dan seni yang relatif
modern sifatnya. Menurut undang – undang ini, pelanggaran terhadap larangan
perbanyakan merupakan perbuatan yang dapat dipidana. Masalah pemidanaan
terhadap pembajakan karya cipta ini sebenarnya telah diajarkan oleh Fries dalam
bukunya “Philisophische Rechtslehre” pada tahun 1803. Perpanjangan jangka waktu
perlindungan Hak Cipta kembali dilakukan pada tahun 1934 menjadi 50 tahun
p.m.a. Tindakan untuk memperpanjang masa perlindungan Hak Cipta ini dilatar
belakangi oleh Artikel 7 ayat 1 Konvensi Bern tahun 1886 yang memberikan
perlindungan bagi Hak Cipta sampai 50 tahun p.m.a. Dengan Urhebegesetz (UU Hak
Cipta) tahun 1965 memberikan perlindungan hukum kepada Hak Cipta selama 70
tahun p.m.a.
Perkembangan selanjutnya semakin memperlihatkan keseriusan Jerman dalam
mencermati Hak Cipta. Ini bisa dilihat pada tahun 1876 dihasilkan 3 undang –
undang:
Undang – undang Hak
Cipta tentang Karya Seni tanggal 9 Januari 1876
Undang – undang tentang Perlindungan Fotografi
terhadap Reproduksi Secara illegal tanggal 10 Januari 1876
Undang – undang Hak Cipta tentang Muster dan Model tanggal
11 januari 1876. Undang – undang ini hingga kini masih tetap berlaku sebagai
hukum positif di Jerman.
Melalui Rechtsreform di bidang Hak Milik Intelektual, pada tanggal 9
September 1965 Parlemen Jerman mengundangkan Urhebergesetz (UUHC) yang berlaku
hingga saat ini. Untuk mengikuti kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan
teknologi, Urhebergesetz 1965 mengalami beberapa kali amandement pada tahun
1987 dan tahun 1994. Disamping itu UUHC, jerman juga memiliki undang – undang
tentang paten sejak tanggal 16 Desember 1980, undang – undang tentang Merek
tanggal 25 Oktober 1994. Untuk lebih memperkuat perlindungan hukum kepada Hak
Milik Intelektual terhadap segala bentuk pelanggaran, pada tanggal 7 Maret 1990
Parlemen Jerman telah menyetujui sebuah undang – undang tentang Memperkuat
Perlindungan Hak Milik Intelektual dan Memerangi tindakan pembajakan. Undang-
undang ini dimaksudkan untuk mengantisipasi pelanggaran atas Hak Milik
Intelektual yang dialakukan dengan menggunakan teknologi canggih di bidang informasi
dan telekomunikasi, seperti melalui internet, perbanyakan melauli Disket, CD,
VCD, LCD, dan lain – lain.
2.
Inggris
Di inggris teori tentang Hak Milik Percetakan berkembang menurut “company
of stationers” yang dimaksudnya adalah hanya si pemilik percetakan yang
memiliki hak untuk mencetak yang disebut dengan “owner of the copy”. Pada
prinsipnya, tidak ada perbedaan antara Copyright System dengan Privilegien
System, karena keduanya sama – sama melarang percetakan ulang buku yang
dilakukan secara ilegal atau istilah yang populer sekarang ini adalah
pembajakan buku.
Inggris merupakan negara pertama di muka bumi ini memiliki undang – undang
Hak Cipta yang disebut dengan Act of 1709 yang dikeluarkan pada masa kerajaan
Ratu Anne. Menurut Act ini si pencipta mempunyai hak penuh dan terbats untuk
memperbanyak ciptaannya. Hak cipta ini berlangsung selama 14 tahun, tapi
dapat diperpanjang apabila si autor masih hidup. Barulah sejak tahun 1959
ketentuan perundang – undangan Hak Cipta di Inggris memberikan perlindungan Hak
Cipta selama 50 tahun setelah si pencipta meninggal.
3.
Perancis
Semasa revolusi Perancis yang sangat terkenal itu, pada tanggal 7 Januari
1791 telah dilahirkan undang – undang pertama tentang hak Milik Intelektual.
Pada tanggal 19 Juli 1793 diundangkan lagi ketentuan tentang perlindungan atas
Hak Milik pencipta atas karya kesusasteraan, musik dan seni. Menurut ketentuan
ini, jangka waktu perlindungan Hak Cipta berlaku selama hidup si pencipta dan
10 tahun setelah si pencipta meninggal.
Melalui Ordonasi Napoleon tanggal 8 Juni 1806 karya – karya seni seperti
drama juga mendapat perlindungan hukum sebagi Hak Cipta. Tahun 1866 jangka
waktu perlindungan Hak Cipta di Perancis diperpanjang menjadi 50 tahun setelah
si pencipta meninggal. Setelah lampau waktu itu Hak Cipta menjadi domaine
publique, artinya setiap orang bebas menggunakan Hak Cipta tersebut dengan
sesuka hatinya, seperti memperbanyak, tetapi tetap harus menjaga dan memelihara
droit moral si pencipta yang bersifat abadi itu.
Daftar Pustaka
Bluntschi, Deutsches Privatrecht, 1864, hal.15;
bandingkan juga Rehbinder, Johan Caspar Bluntschi Beitrag zur Theorie des
Urheberrechts, dalam UFITA Jilid 123/1993.
Fichte, Beweis der Unrechtmabigkeit des
Buchernadrucks, 1973, dalam Berliner Zeitschrift, Jilid ke 21.
Gierke, Deutsches Privatrecht, 1895 Band 1, edisi
cetakan ulang tahun 1936, hal. 748 dstnya.
Hegel, Vorlesungen uber Rechtsphilosophie 1811-1831,
Edition dan Kommentar von llting, Karl-Heinz, Jilid 3, 1974, h. 68, 69.
Hubmann, Geistiges Eigentum, dalam Bettermann/
Nipperdey/ Scheuner, Die Grundrechte, Handbuch der Theorie und Praxis der
Grundrechte, Jilid IV.
Institutiones II. 1. 33; Digesta XLI.1.9.1; Gieseke,
Die geschichtliche Entwicklung des deutschen Urheberrechts, 1957.
Lembar Negara No. 15 Tahun 1982.
LembaranNegara No. 290 Tahun 1961.
Lembaran Negara No.31 Tahun 1997.
Lembaran Negara No. 81 Tahun 1992.
Lembaran Negara RI No. 29 Tahun 1997.
Lembaran Negara RI No. 30 Tahun 1997.
Lembaran Negara RI No. 39 Tahun 1989.
Lembaran Negara RI No. 42 Tahun 1987.
Locke, 1988, Two Treatises of Goverment, edited and
introduced by Peter Laslett.
Schricker, Urheberrecht: Kommentar, 1987.
Staatsblad No. 109 tahun 1885.
Staatsblad No. 545 tahun 1912.
Ulmer, 1980, Urheber-und Verlagsrecht.
2EB12
NAMA KELOMPOK
:
DINI IRIANI (
22212195 )
KASANTI OKTAVIANI (
24212039 )
RICHKY APRISIA (
26212280 )
ROFIFAH PRATIWI (
26212666 )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar