Selasa, 06 Mei 2014

SEJARAH DAN TEORI PERLINDUNGAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL



SEJARAH DAN TEORI PERLINDUNGAN
HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL
Syafrinaldi
(Dosen tetap dan Direktur Pascasarjana Universitas Islam Riau)



Posting 1



A. Pendahuluan
Hukum perlindungan Hak Milik Intelektual (HAMI) adalah sangat penting, sehingga tidak menjadi urusan pemerintah semata melainkan menjadi tanggung jawab kita semua. Apalagi hak milik intelektual tidak hanya bersinggungan dengan masalah nama dan kehormatan saja bagi si pencipta maupun bagi si penemu dalam hal paten,tetapi sudah merupakan salah satu pintu gerbang untuk menghasilkan uang bagi pemilik hak intelektual/karya cipta dan penemu termasuk keluarganya.
Perkembangan ilmu dan teknologi (iptek) yang sangat cepat tidak hanya telah memberikan kemudahan bagi umat manusia dalam menyelesaikan pekerjaanya sehari – hari dalam berbagai segi kehidupan, tetapi juga telah mengancam sumber rezeki bagi si pencipta/ si penemu yang telah menghasilkan berbagai karya cipta dan penemuan sebagai hasil daya kreatifitasnya dalam mewujudkan mutu intelektualitasnya sebagai sumbangan untuk turut serta mencerdaskan kehidupan bangsa. Berbagai praktek pelanggaran terhadap hak milik intelektual ini telah berlangsung sejak lama dan hingga kini masih saja terjadi bahkan dengan intensitas yang lebih tinggi. Apalagi kemajuan iptek turut memfasilitasi pelanggaran hak milik intelektual itu dengan berbagai cara seperti pembajakan buku, film dan rekaman lainnya melalui disket, CD, VCD, LD dan lain – lain cara atau yang dikenal dengan istilah “Multi Media” yang pada kenyataannya sangat sukar untuk dipantau. Celah – celah pelanggaran inilah yang seringkali dimanfaatkan oleh pihak – pihak yang hendak meraup keuntungan besar dengan cara yang mudah dengan sedikit mengeluarkan biaya, tanpa memikirkan kerugian pihak lain, seperti si pencipta / si penemu dan negara.
Tulisan ini mencoba untuk memberikan gambaran secara lengkap dan rinci tentang hukum yang mengatur tentang perlindungan HAMI mulai dari sejarahnya dari abad kuno hingga saat ini, juga menelaah keberadaan peraturan perundang – undangan nasional serta juga hukum internasional dalam bidang HAMI. Karena itu, topik ini sangat bermanfaat untuk dibaca dan ditelaah tidak hanya untuk tujuan ilmiah bagi mahasiswa dan dosen, tetapi juga bagi kalangan praktisi seperti pengusaha, pengacara dan para penegak hukum yang ingin mendalami hukum tentang perlindungan HAMI.


B. Abad Kuno dan Pertengahan
Sejarah Hak Milik Intelektual sudah berlangsung lama sekali. Namun
Pengakuan masyarakat internasional terhadap hak milik yang memilik special character ini dan yang berbeda dengan hak milik pada umumnya seperti benda (barang) nyata (materialles Eigentum) masih baru. Lamanya proses pengakuan ini dikarenakan oleh faktor tidak sadarnya masyarakat internasional pada waktu itu tentang sifat yang melekat pada Hak Milik Intelektual itu, sebab mereka belum mengenal hak milik dalam bentuk lain selain benda atau barang.
            Hak Milik intelektual dapat dibagi atas hak cipta, paten, merek, desain industri, rahasia dagang, desain tata letak sirkit terpadu, perlindungan varietas tanaman dan anti monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Pada abad kuno dan pertengahan (Altertum dan Mittelalter) hak cipta belum dikenal oleh masyarakat, sekalipun banyak karya cipta yang telah dihasilkan oleh manusia pada waktu itu. Karya cipta dianggap sebagai hal biasa yang eksistensinya tidak perlu dilindungi oleh peraturan perundang – undangan (Gesetz), karena mereka beranggapan, bahwa hak cipta tidak memiliki arti yang strategis dalam kehidupan manusia, seperti rumah, tanah atau benda lainnya.
            Corpus Juris yang menyadari kehadiran Hak Milik Intelektual berupa ciptaan dalam bentuk tulisan atau lukisan diatas kertas. Namun pandangan itu belum sampai kepada pembedaan antara benda nyata (materialles Eigentum)  dengan benda tak nyata (immmaterialles Eigentum) yang merupakan produk kreasi intelektualitas manusia. Istilah immaterialles Eigentum inilah yang sekarang disebut dengan Hak Milik Intelektual (HAMI) atau Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) atau Hak Kekayaan Intelektual (HKI) yang merupakan terjemahan dari kata asing “geistiges Eigentum” atau “intellectual property right”.
            Pada abad pertengahan, fenomena pengusaan sesuka hati terhadap Hak Cipta oleh publik semakin meningkat, karena waktu itu orang dapat dengan sesuka hatinya memperbanyak ciptaan orang lain dan memperjualbelikannya, sehingga fenomena itu melahirkan teori tentang Hak Milik Percetakan (verlagseigentumslehre). Jadi, pada masa ini karya cipta manusia itu masih dianggap sebagai penjelmaan dari ciptaan Tuhan, sehingga kehadirannya di tengah – tengah masyarakat dianggap sebagai karya cipta yang tidak bertuan atau “anonym”.


C.      Masa Keistimewaan (Privileg) dan Hak Milik Percetakan
Yang dimaksud dengan masa hak keistimewaan atau privileg adalah dimana hak untuk memperbanyak suatu karya cipta diberikan kepada percetakan/penerbit. Artinya, percetakan mendapat hak istimewa (Privileg) untuk memperbanyak dan menjual hasil ciptaan seseorang. Yang berhak memberikan hak istimewa ini adalah raja ataupun penguasa.
Era privileg ini telah dimulai sejak ditemukannya cetakan buku di Gutenberg Jerman sekitar tahun 1445 dan Kupfertich serta seni pahat kayu (Holzschneidekunst). Dari sini muncul teori tentang larangan untuk mencetak ulang suatu buku, kecuali diperolehnya privileg (izin) untuk melakukan cetak ulang. Pemberian privileg pada prinsipnya dimaksudkan untuk memerangi kejahatan pembajakan buku yang biasa dilakukan dengan cara mencetak ulang buku tersebut dalam jumlah besar dan secara ilegal. Privileg pertama diberikan oleh kota Venesia (itali) kepada Johan von Speyer pada tahun 1469 untuk jangka waktu 5 tahun. Ini merupakan teori awal yang menunjukan, bahwa Hak Milik Intelektual ini dibatasi oleh waktu. Anehnya Privileg yang diterima Johan von Speyer bukan dimaksudkan sebagai suatu perlindungan hukum terhadap karya – karya sastra, melainkan perlindungan terhadap suatu proses baru, yakni seni dari suatu cetakan buku (Buchdruckkunst). Dengan ketentuan Basler tahun 1531, barulah pemberian Privileg dimaksudkan untuk perlindungan hukum terhadap karya cipta berupa buku. Pada prinsipnya, perlindungan hukum yang diberikan pada karya cipta pada masa itu sangatlah jauh berbeda dengan perlindungan serupa yang dikenal pada mas kini. Dulu, yang diberikan perlindungan itu adalah buku (cetakan) dalam pengertian benda, sedangkan yang dilindungi sekarang ini adalah bukan bukunya itu dalam  pengertian yang (konkret), melainkan isi dari buku itu yang merupakan hasil dari karya intelektual manusia.
Pada masa ini, teori tentang Privileg berkembang pesat di negara – negara Eropa, seperti di Jerman, Inggris dan perancis
 

 
1.        Jerman
Di negara Jerman, pemberian suatu Privileg pada waktu itu erat kaitannya dengan hal sensor (Zensur) yang dilakukan oleh para raja atau para penasehat spiritual raja dengan maksud melindungi buku – buku cetakan. Komosaris buku – buku yang dibentuk oleh kerajaan pada tahun 1579 di Frankfurt am Main dan Leizig mempunyai arti khusus dalam sejarah privileg di Jerman, karena kedua kota tersebut menjadi pusat perdagangan buku dan tempat pameran buku – buku pada masa itu.
Ajaran tentang Hak Milik Percetakan di Jerman berkembang pesat dengan dibuatnya ketentuan – ketentuan tentang pencetakan buku (Buchdruckerordnungen) di Frankfurt am Main tahun 1588, 1598 dan 1660, juga di Nurnberg tahun 1673. Untuk pertama kali melalui sebuah Keputusan federal (Bundesbeschluß) pada tahun 1835 menyatakan pelarangan untuk memperbanyak karya cipta di alam teritorial Federal Jerman dan sekaligus juga memberikan perlindungan hukum terhadap karya cipta dimaksud. Melalui Keputusan Parlemen (Beschluß des Bundestags) tanggal 31 Oktober 1837 perlindungan hukum terhadap Hak Cipta dibatassi sampai 10 tahun p.m.a (post mortem auctoris) atau setelah si pencipta meninggal. Jangka waktu perlindungan Hak Cipta ini kemudian diperpanjang menjadi 30 tahun p.m.a dengan Beschulß tahun 1845.
Pada tanggal 11 Juli 1847 untuk pertama kalinya Preußen jerman memiliki undang – undang Hak Cipta di bidang ilmu pengetahuan dan seni yang relatif modern sifatnya. Menurut undang – undang ini, pelanggaran terhadap larangan perbanyakan merupakan perbuatan yang dapat dipidana. Masalah pemidanaan terhadap pembajakan karya cipta ini sebenarnya telah diajarkan oleh Fries dalam bukunya “Philisophische Rechtslehre” pada tahun 1803. Perpanjangan jangka waktu perlindungan Hak Cipta kembali dilakukan pada tahun 1934 menjadi 50 tahun p.m.a. Tindakan untuk memperpanjang masa perlindungan Hak Cipta ini dilatar belakangi oleh Artikel 7 ayat 1 Konvensi Bern tahun 1886 yang memberikan perlindungan bagi Hak Cipta sampai 50 tahun p.m.a. Dengan Urhebegesetz (UU Hak Cipta) tahun 1965 memberikan perlindungan hukum kepada Hak Cipta selama 70 tahun p.m.a.

Perkembangan selanjutnya semakin memperlihatkan keseriusan Jerman dalam mencermati Hak Cipta. Ini bisa dilihat pada tahun 1876 dihasilkan 3 undang – undang:
Undang – undang Hak Cipta tentang Karya Seni tanggal 9 Januari 1876
Undang – undang tentang Perlindungan Fotografi terhadap Reproduksi Secara illegal tanggal 10 Januari 1876
Undang – undang Hak Cipta tentang Muster dan Model tanggal 11 januari 1876. Undang – undang ini hingga kini masih tetap berlaku sebagai hukum positif di Jerman.
Melalui Rechtsreform di bidang Hak Milik Intelektual, pada tanggal 9 September 1965 Parlemen Jerman mengundangkan Urhebergesetz (UUHC) yang berlaku hingga saat ini. Untuk mengikuti kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, Urhebergesetz 1965 mengalami beberapa kali amandement pada tahun 1987 dan tahun 1994. Disamping itu UUHC, jerman juga memiliki undang – undang tentang paten sejak tanggal 16 Desember 1980, undang – undang tentang Merek tanggal 25 Oktober 1994. Untuk lebih memperkuat perlindungan hukum kepada Hak Milik Intelektual terhadap segala bentuk pelanggaran, pada tanggal 7 Maret 1990 Parlemen Jerman telah menyetujui sebuah undang – undang tentang Memperkuat Perlindungan Hak Milik Intelektual dan Memerangi tindakan pembajakan. Undang- undang ini dimaksudkan untuk mengantisipasi pelanggaran atas Hak Milik Intelektual yang dialakukan dengan menggunakan teknologi canggih di bidang informasi dan telekomunikasi, seperti melalui internet, perbanyakan melauli Disket, CD, VCD, LCD, dan lain – lain.


2.        Inggris
Di inggris teori tentang Hak Milik Percetakan berkembang menurut “company of stationers” yang dimaksudnya adalah hanya si pemilik percetakan yang memiliki hak untuk mencetak yang disebut dengan “owner of the copy”. Pada prinsipnya, tidak ada perbedaan antara Copyright System dengan Privilegien System, karena keduanya sama – sama melarang percetakan ulang buku yang dilakukan secara ilegal atau istilah yang populer sekarang ini adalah pembajakan buku.
Inggris merupakan negara pertama di muka bumi ini memiliki undang – undang Hak Cipta yang disebut dengan Act of 1709 yang dikeluarkan pada masa kerajaan Ratu Anne. Menurut Act ini si pencipta mempunyai hak penuh dan terbats untuk memperbanyak  ciptaannya. Hak cipta ini berlangsung selama 14 tahun, tapi dapat diperpanjang apabila si autor masih hidup. Barulah sejak tahun 1959 ketentuan perundang – undangan Hak Cipta di Inggris memberikan perlindungan Hak Cipta selama 50 tahun setelah si pencipta meninggal.
 
3.    Perancis
Semasa revolusi Perancis yang sangat terkenal itu, pada tanggal 7 Januari 1791 telah dilahirkan undang – undang pertama tentang hak Milik Intelektual. Pada tanggal 19 Juli 1793 diundangkan lagi ketentuan tentang perlindungan atas Hak Milik pencipta atas karya kesusasteraan, musik dan seni. Menurut ketentuan ini, jangka waktu perlindungan Hak Cipta berlaku selama hidup si pencipta dan 10 tahun setelah si pencipta meninggal.
Melalui Ordonasi Napoleon tanggal 8 Juni 1806 karya – karya seni seperti drama juga mendapat perlindungan hukum sebagi Hak Cipta. Tahun 1866 jangka waktu perlindungan Hak Cipta di Perancis diperpanjang menjadi 50 tahun setelah si pencipta meninggal. Setelah lampau waktu itu Hak Cipta menjadi domaine publique, artinya setiap orang bebas menggunakan Hak Cipta tersebut dengan sesuka hatinya, seperti memperbanyak, tetapi tetap harus menjaga dan memelihara droit moral si pencipta yang bersifat abadi itu.




Daftar Pustaka

Bluntschi, Deutsches Privatrecht, 1864, hal.15; bandingkan juga Rehbinder, Johan Caspar Bluntschi Beitrag zur Theorie des Urheberrechts, dalam UFITA Jilid 123/1993.
Fichte, Beweis der Unrechtmabigkeit des Buchernadrucks, 1973, dalam Berliner Zeitschrift, Jilid ke 21.
Gierke, Deutsches Privatrecht, 1895 Band 1, edisi cetakan ulang tahun 1936, hal. 748 dstnya.
Hegel, Vorlesungen uber Rechtsphilosophie 1811-1831, Edition dan Kommentar von llting, Karl-Heinz, Jilid 3, 1974, h. 68, 69.
Hubmann, Geistiges Eigentum, dalam Bettermann/ Nipperdey/ Scheuner, Die Grundrechte, Handbuch der Theorie und Praxis der Grundrechte, Jilid IV.
Institutiones II. 1. 33; Digesta XLI.1.9.1; Gieseke, Die geschichtliche Entwicklung des deutschen Urheberrechts, 1957.
Lembar Negara No. 15 Tahun 1982.
LembaranNegara No. 290 Tahun 1961.
Lembaran Negara No.31 Tahun 1997.
Lembaran Negara No. 81 Tahun 1992.
Lembaran Negara  RI No. 29 Tahun 1997.
Lembaran Negara  RI No. 30 Tahun 1997.
Lembaran Negara  RI No. 39 Tahun 1989.
Lembaran Negara  RI No. 42 Tahun 1987.
Locke, 1988, Two Treatises of Goverment, edited and introduced by Peter Laslett.
Schricker, Urheberrecht: Kommentar, 1987.
Staatsblad No. 109 tahun 1885.
Staatsblad No. 545 tahun 1912.
Ulmer, 1980, Urheber-und Verlagsrecht.




2EB12
NAMA KELOMPOK :
DINI IRIANI                     ( 22212195 )
KASANTI OKTAVIANI   ( 24212039 )
RICHKY APRISIA           ( 26212280 )
ROFIFAH PRATIWI         ( 26212666 )

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar