HAK CIPTA DAN PENYEBARAN PENGETAHUAN
Diao
Ai Lien
Dosen
Fakultas Hukum Unika Atma Jaya Jakarta
Posting 2
HAK
CIPTA TETAP DIPEGANG OLEH PENULIS
Seandainya hak cipta dipegang dan
dikelola oleh penulis, maka inilah yang akan terjadi. Setiap kali ada orang
yang ingin memperbanyak, mendistribusikan, dan mengubah (mengalih-media,
menterjemahkan, menyadur, dsb.) suatu karya, dia harus menghubungi penulisnya.
Syukur apabila penulis tersebut mudah dijangkau melalui e-mail atau telepon.
Mengurus perijinan ini pastilah sedikit atau banyak, akan memakan waktu,
apalagi kalau memerlukan paper works. Kalau tidak berhasil menghubungi
si penulis, maka pengguna akan (harus) mengurungkan niatnya untuk memperbanyak,
mendistribusikan, dan/atau mengubah karya tersebut. Ini tentu saja mengurangi
penyebaran dan pemanfaatan karya yang bersangkutan. Padahal bukankah kepuasan
penulis adalah bila karyanya dapat tersebar seluas-luasnya dan dimanfaatkan
oleh banyak orang dalam waktu yang sesingkat mungkin (dikutip oleh banyak orang
bahkan langsung sesudah dipublikasi) ?
Di samping itu, dalam hal penulis yang
memegang dan mengelola hak cipta, penulis akan direpotkan dengan permintaan
ijin atau pengelolaan lisensi, terutama bila dia begitu produktif dan banyak
pihak yang ingin menyebarluaskan dan mengubah karyanya. Hal ini sedikit atau
banyak akan memperlambat urusan perijinan Dari segi penerbit, apakah pemberian
lisensi kepada penerbit tidak akan meningkatkan harga beli atau langganan karya
ilmiah? Bisa ya bisa tidak tergantung seberapa banyak harga yang harus dibayar
oleh penerbit kepada setiap penulis untuk setiap artikel. Bayangkan kalau agen
database elektronik yang memuat ratusan jurnal dan ratusan ribu artikel harus
membayar lisensi untuk setiap artikel yang terkandung di dalam databasenya.
PENERAPAN
HAK CIPTA DI ERA KEMAJUAN TEKNOLOGI KOMUNIKASI DAN INFORMASI
Di era kemajuan teknologi komunikasi
dan informasi ini, publikasi, alih media, dan penyebaran informasi bisa
dilakukan dengan mudah oleh siapa saja dan ke mana saja. Selesai menulis,
meskipun baru berupa draft pertama, penulis dapat segera menaruhnya di
suatu situs, webblog, ataupun milis. Melalui sarana ini, penulis bisa meminta
masukan dari pembaca yang berasal dari pelbagai bangsa dan disiplin ilmu.
Penulis dengan mudah bisa merevisi publikasinya, kapan saja (tidak harus
menunggu sampai karya tersebut beredar selama 1 tahun misalnya, atau sesudah
cetakan pertamanya habis terjual). Di samping itu, penulis dan setiap orang
yang mengetahuinya, dapat menyebarkan alamat dokumen tersebut melalui milis
atau email pribadi. Dokumen tersebut pun dengan mudah dapat dimanfaatkan oleh
siapa saja.
Praktek tersebut di atas, yang disebut dengan open
access, sudah merupakan perkara biasa di dunia maya. Hal ini sudah terbukti
mempercepat penyebaran dan pemanfaatan karya ilmiah. Menurut Sahu, Gogtay,
& Bavdekar (2005), open access memperbaiki tingkat kutipan (citation
rates) di bidang fisika, matematika, dan astronomi. Penelitian mereka terhadap sebuah jurnal
multi-disiplin yang mengadopsi open access (OA) setelah 10 tahun terbit
(setelah tahun 2000), menemukan antara lain, bahwa tidak satu pun
artikel yang dipublikasikan sebelum OA dikutip pada tahun terbit. Sebaliknya,
artikel yang dipublikasikan setelah OA, yaitu tahun 2002, 2003, dan 2004,
dikutip 3, 7, dan 22 kali berturut-turut pada tahun terbit.
Dengan bantuan teknologi, sepanjang
tidak dibatasi oleh hak cipta (terutama hak ekonomi), percepatan penyebaran dan
pemanfaatan pengetahuan bisa dengan mudah berlangsung tidak hanya di dalam
disiplin ilmu yang sama, tetapi juga lintas disiplin. Kolaborasi ilmiah bisa
berlangsung dengan mudah secara lintas batas geografi, waktu, disiplin,
hirarkhi sosial, dan budaya. Kemudahan ini sangat mempercepat perkembangan ilmu
pengetahuan.
Pertanyaannya sekarang adalah: apakah
kemudahan yang diberikan oleh kemajuan teknologi komunikasi dan informasi ini
harus dihambat oleh hak cipta baik yang dipegang oleh penulis maupun penerbit?
Apalagi penerapan hak cipta bisa berdampak seperti ’pedang bermata dua’ bagi
penulis dan pengguna, bukan hanya dalam kasus pemanfaatan karya orang lain,
tetapi juga karya sendiri.
Sebetulnya, pertanyaan yang mendasar
adalah apakah masih dapat dibenarkan pemberlakuan hak cipta yang jangka
waktunya begitu lama kalau memang perkembangan ilmu pengetahuan menjadi
kepedulian utama semua pihak? Apalagi sampai memberlakukan harga yang begitu
tinggi untuk lisensi setiap tahun per pengguna untuk dokumen elektronik yang
tidak dapat diakses lagi pada saat sudah tidak dilanggan. Sebetulnya, dasar
pemberlakuan hak cipta adalah bahwa penulis perlu mendapat insentif untuk
keorisinilan karyanya. Namun pertanyaannya adalah: siapakah sesungguhnya
penulis suatu karya ilmiah?
Pengembangan ilmu pengetahuan
merupakan usaha kolektif yang melibatkan ilmuwan yang hidup sejak dahulu sampai
yang akan datang, karena pengembangan pengetahuan senantiasa (harus) didasarkan
pada penemuan-penemuan terdahulu. Dalam kenyataannya pun, suatu karya ilmiah
jarang merupakan karya murni (utuh) penulisnya. Di dalamnya ada banyak
pemikiran orang lain. Mungkin hanya sekian persen saja dari suatu karya
merupakan hasil dari penulisnya (kecuali hasil penelitian yang berdasarkan
eksperimen di laboratorium). Hasil penelitian tentang gaya hidup anak jalanan,
misalnya, apalagi dengan menggunakan metode kualitatif, sebenarnya merupakan
hasil bersama antara peneliti, anak jalanan (subyek penelitian), informan
lainnya, dan penulis yang karyanya digunakan oleh si peneliti dalam
penelitiannya. Dalam kenyataannya juga, bahkan pengguna turut memberikan
sumbangan pemikiran dalam penerbitan suatu karya (dengan cara memberikan opini
secara lisan maupun tertulis, melalui Internet atau dalam seminar, dsb.)
Menurut Durham, ”Naive acceptance
of authorship as a predominantly individual and creative act may foster
authorial rights that are too broad or too powerful for the good of society.”
Dengan demikian, tidak adil kalau atas
suatu karya ilmiah, hak cipta (hak ekonomi) hanya diberikan pada penulisnya
yang terdiri dari satu atau beberapa orang yang tercantum di bawah judul suatu
karya. Apalagi kalau hak itu kemudian diberikan kepada penerbit yang justru
(hampir) tidak turut dalam penciptaan namun yang akan mendapat keuntungan
ekonomi terbesar.
Karena itu, sudah waktunya untuk memikirkan
beberapa skenario lain untuk pengelolaan hak cipta, yaitu:
1.
hak cipta
direduksi menjadi hanya hak moral
2.
hak cipta
diberlakukan secara utuh tetapi tidak eklusif
3.
hak cipta
diberlakukan secara utuh dan eksklusif tetapi dalam jangka waktu yang terbatas
4.
pilihan 1-3
diserahkan pada penulis atau kesepakatan antara penulis dan penerbit.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, C. (1999).
Hak cipta: pelanggaran hak cipta dan perundang-undangan
terbaru hak cipta indonesia. Jakarta:
Novindo Pustaka Mandiri.
Birdsall, W.F. (2005). Towards an integrated knowledge ecosystem: a canadian research strategy. A report
submitted to the Canadian Association of Research Libraries / L'Association des bibliothèques de
recherche du Canada (CARL/ABRC). Ditelusuri pada tanggal 11 April 2006
dari http://www.carl-
abrc.ca/projects/kdstudy/public_html/results.html
Durham, A.L.
(2004). Brigham Young University Law Review, vol. 2004, iss.1,
69 hlm.
Houghton,
J.W., Steele, C., dan Henty, M. (2003).
Changing research practices in the
digital
information and communication environment.
Ditelusuri dari
http://www.dest.gov.au/sectors/research_sector/publications_resources/other_publication
s/changing_research_practices.html
pada tanggal 1 April 2006.
Nentwich, M. (2001). (Re-) de-commodification in academic
knowledge
distribution?
Paper for the 5 th ESA Conference, SSTNET session 4 on
“Commodification
of Knowledge”, 28/8-1/9 2001, Helsinki University.
Sahu, D.K.,
Gogtay, N.J., and Bavdekar, S.B. (2005).
Effect of open access on citation
rates for a
small biomedical journal. Paper
presented in the Fifth International
Congress on
Peer Review and Biomedical Publication, 16-18 September 2005, Chicago,
USA. Ditelusuri dari http://openmed.nic.in/1174/
pada tanggal 1 April 2006.
Wikipedia. Ditelusuri dari
http://en.wikipedia.org/wiki/Copyleft pada tangal 21 Desember 2004.
Wikipedia. Ditelusuri dari http://en.wikipedia.org/wiki/Copyleft pada
tangal 21 Desember 2004.
Nama Kelompok:
1.
Dini Iriani (22212195)
2.
Kasanti Oktaviani (24212039)
3.
Richky Aprisia (26212280)
4.
Rofifah Pratiwi (26212666)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar